Sejak adanya pemberlakuan kebijakan tarif pajak untuk barang-barang yang masuk ke AS dari berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dampaknya bagi negara ini, khususnya untuk para pengusaha, akan sangat terasa.
Untuk para eksportir, barang-barang penting seperti tekstil, sepatu, elektronik, furniture, dan produk pertanian harus dibayar lebih mahal, yang membuat ekspor Indonesia ke AS bisa menjadi berkurang karena harga jual yang akan meningkat seiring dengan tarif masuk yang naik. Dilansir dari Tempo.co, dampak dari hal tersebut adalah bisa saja membuat produksi menjadi lebih lambat dan lapangan kerja akan berkurang.
Kebijakan Tarif Impor yang Melemahkan Rupiah
Setelah Indonesia masuk dalam daftar negara yang paling terpengaruh oleh kenaikan tarif impor pada urutan ke-delapan, dengan tarif 32%, sebenarnya sudah bisa ditebak dampaknya pada nilai rupiah.
Hanya dalam hitungan jam, rupiah mulai melemah. Pada 8 April 2025, rupiah telah terdepresiasi menjadi Rp17.200 per USD. Namun, pada 8 Mei 2025 nilai rupiah sudah mulai membaik, dimana rupiah kembali di angka 16 ribu, tepatnya Rp16,490 per USD.
Dilansir dari exchange rates, meski data rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar sejak April 2025 belum tersedia secara lengkap, namun melemahnya nilai rupiah sudah terlihat sejak awal tahun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2018, rata-rata nilai tukar USD/IDR adalah sekitar Rp14.196. Dengan nilai tukar saat ini yang mendekati Rp17.000 per dolar AS, maka terdapat depresiasi sekitar 20%.
Dampak yang Dirasakan Masyarakat Indonesia
Dampak dari kebijakan tarif ini yang paling terlihat adalah semakin tingginya nilai dolar Amerika dan melemahnya nilai rupiah. Pelemahan rupiah inilah yang akan mendorong inflasi menjadi lebih tinggi.
Jika inflasi semakin tinggi, maka harga barang akan semakin naik, termasuk sembilan bahan pokok (sembako) dan produk lainnya yang diimpor dari luar negeri.
Jika harga barang-barang pokok naik, tentu saja akan menyulitkan seluruh lapisan masyarakat, khususnya kalangan menengah dan menengah ke bawah.
Tips agar Finansial Tetap Stabil
1. Susun Anggaran dan Perketat Pengeluaran
Jika kamu sudah memiliki anggaran, susun kembali dengan tujuan memperketat pengeluaran. Jika belum memilikinya, ini saatnya untuk membuat anggaran. Cek semua pengeluaran rutin yang dilakukan dan potong pengeluaran yang tidak terlalu penting.
Fokuskan anggaran pada kebutuhan pokok, seperti makanan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Hilangkan atau setidaknya kurangi pengeluaran yang tidak perlu. Dengan begitu, kamu akan menjaga arus kas meski harga barang-barang naik.
2. Lunasi Utang dan Tunda Utang Baru
Jika masih memiliki utang, sebisa mungkin segera lunasi, terutama yang memiliki bunga tinggi. Mengapa? Karena utang bisa menjadi salah satu pengeluaran terbesar. Jika bisa, alihkan utang berbunga tinggi ke utang yang tidak berbunga atau lebih kecil. Ini akan membuat biaya pengeluaran untuk membayar cicilan dapat ditekan sekecil mungkin.
Lalu, sebisa mungkin jangan memiliki utang baru, khususnya dalam mata uang asing. Ini karena saat rupiah melemah, cicilan dalam mata uang asing, seperti dolar AS akan membengkak yang bisa membebani keuangan.
3. Perbesar Tabungan Darurat
4. Diversifikasi Aset Investasi
Jika saat ini kamu sudah memiliki investasi, segera diversifikasikan aset tersebut. Dengan begitu, diharapkan membuat risiko terhadap investasi yang dipilih menjadi lebih kecil. Namun, pastikan diversifikasi sesuai dengan tujuan keuangan yang ingin dicapai dan profil risiko.
Dalam kondisi saat ini, kamu bisa memilih investasi dalam bentuk deposito, logam mulia, atau bahkan properti. Pastikan kamu benar-benar mengerti keuntungan dan risiko dari investasi yang dipilih.
5. Edukasi Semua Anggota Keluarga
Beri pengertian kepada seluruh anggota keluarga mengenai pentingnya berhemat dan bijak mengelola uang. Jangan biarkan hanya kamu yang berjuang, tetapi libatkan juga pasangan, anak-anak, bahkan orang tua jika masih tinggal satu atap.
Ajak mereka untuk berdiskusi mengenai anggaran, termasuk pemasukan dan pengeluaran yang selama ini dilakukan. Dengan begitu, seluruh keluarga bisa bekerja sama untuk menjaga keuangan tetap sehat.